LAST DREAM ABOUT HIM
Genre are
Hurt/Comfort, Angst, Tragedy
Type One Shoot
Rate T
Warning :
Before
you read this story i would like to appologize if found many typos, out of plot
and for every single mistakes.
Summary
Ketika mimpi
berkehandak untuk menyatakan kenyataan yang akan datang. Kepercayaannya
terhadap mimpi-mimpinya membuatnya bingung. Dia harus dihadapkan dengan dua
pilihan yang sama-sama akan mengubah hidupnya. Merelakan orang yang begitu
berarti dalam hidupnya dengan menjalani kehidupan masa depan yang sudah
ditakdirkan. Atau memilih menyelematkan orang yang begitu berarti namun dengan
kehidupan yang harus ditatanya kembali. Takdir menakutinya, membuatnya takut
akan pilihan yang akan diambilnya. Ketakutannya menghadapkannya dengan
kenyataan takdir yang membuatnya harus merelakan orang yang berharga dalam
hidupnya. Dia tahu, pada akhirnya dia tidak bisa mengelak dari takdirnya.
Last Dream About Him
Deru mesin
kereta api terdengar nyaring di gendang telinga. Stasiun ini terlihat sepi
tanpa ada banyak aktivitas dari para penumpang kereta yang biasanya berlalu
lalang.
Hanya ada
beberapa orang yang terlihat menunggu kedatangan kereta tujuan mereka, sambil
duduk di kursi tunggu. Serta dua orang penjaga stasiun yang terlihat beberapa
kali melintas di area tersebut.
Stasiun itu
merupakan jalur alternative menuju kota-kota besar di dekat wilayah tersebut.
Sehingga meskipun tidak ada satu pun penumpang dari stasiun itu masih banyak
kereta api yang melintas setiap harinya.
Di balik
kesunyian stasiun, dua sejoli berdiri mematung di tepi rel kereta api.
Memandang kosong gerbong-gerbong kereta yang melintas di hadapan mereka. Dari
ujung depan hingga ujung belakang kereta itu menjadi pemandangan utama mereka.
Tak luput pula deru mesin yang selalu mendominasi gendang telinga mereka saat
kereta melintas.
Keduanya
saling menautkan jari-jari tangan mereka membentuk suatu ikatan hangat.
Genggaman tangan. Telapak tangan kekar itu terlihat serasi dengan telapak tangan
yang lebih kecil dalam tangkupan telapak tanganya. Begitu erotis dengan sebuah
aksen gelang dari anyaman sehelai benang berwarna onyx serta berhiaskan liontin
berbentuk kunci yang terpasang di masing-masing pergelangan tangan.
Dari tangan
kekar itu dapat diketahui bahwa pemiliknya adalah seorang lelaki muda yang
masih menyandang status sebagai pelajar. Dari wajahnya yang masih terlihat
begitu muda serta senyumnya yang identik dengan anak muda. Sudut-sudut bibirnya
tertatik menyinggungkan seulas senyum tulus tanpa dosa.
Pipi gembilnya
semakin terlihat gemuk karena senyumannya yang terus bertengger di wajahnya.
Begitu hangatnya senyum tulusnnya. Bagaikan hangatnya musim semi yang baru hadir
di balik dinginnya musim dingin. Memeluk dinginya embun musim dingin terakhir
dan menuntunnya menuju kehangatan duniawi.
Di balik
kungkungan tangan kekar itu tersembunyi sebuah telapak tangan kecil yang masih
terlihat lugu. Daari caranya membalas genggaman tangan tangan kekar itu seolah
menampakkan bahwa sang pemilik tangan kecil itu pertama kalinya menggenggam
tangan lawan jenisnya.
Gelagatnya
tampak gelisah. Tautan tangannya dengan sang lelaki itu semakin kuat seakan
tidak ingin dilepaskan dan ditinggal pergi jauh. Air mukanya semakin tidak
tenang ketika sang lelaki mulai menarik tangannya. Membimbingnya melintasi rel
kereta api yang sudah tidak dilewati kereta api.
Sang
lelaki maju selangkah mendahului, sementara sang gadis masih mematung di
belakangnya. Memandang nanar tautan hangat tangan mereka. Manik coklat cerahnya
merefleksikan ketakutan yang ada di dalam hatinya. Dalam takut gejolak
nalurinya mengajaknya tegar menghadapi kenyataan yang akan terjadi nantinya.
Dia sudah tahu
apa yang akan terjadi setelah ini. Dan apa yang ditakutkannya adalah sesuatu
yang tidak akan lama lagi terjadi diantara mereka. Kehilangan. Selamanya.
Mungkin dia tahu apa yang akan membuatnya kehilangan lelaki di depannya. Ingin
nalurinya mengubah kenyataan itu dengan mengajak raganya mencegah semua yang
akan terjadi kepadanya. Namun logikanya menolak sang naluri secara sepihak.
Keinginan nalurinya hanya akan megubah takdir
dan masa depannya.
Ketidakpastian
pemikiran antara naluri dan logika membuatnya bingung memilih antara hidup tanpa
lelaki yang selalu menemaninya dengan masa depan yang sama atau hidup dengan
lelakinya tetapi dengan masa depan yang berbeda. Kedua pilihan itu sama-sama
memiliki pengaruh besar dalam hidupnya.
Andai kedua
pilihan itu tidak akan memengaruhi hidupnya, mungkin dia kan memilih hidup
dengan lelaki yang selalu menemaninya meski dia harus bersusah payah menata
ulang masa depannya. Dengan pilihan itu mungkin dia akan menarik sang lelaki
kembali pada posisi awalnya dan menggeleng lalu berkata, ‘ Jangan pergi ke
sana!’.
Ketidakmampuannya
memilih membuatnya terdiam mematung. Ketika langkah sang lelaki mulai menapak
tubuh mungilnya tersendat. Tertarik oleh genggaman tangannya dengan lelaki
dihadapannya. Langkah kaki jenjangnya terseret mengikuti langkah pemuda di hadapannya.
Tidak ada perlawan yang dilakukannya. Dirinya memilih mengikuti jalan takdir
yang sudah digariskan pada kehidupannya. Hidup lelaki itu berharga baginya.
Namun takdir lelaki itu lebih baik
daripada dirinya.
Dua pasang
kaki berjalan beriringan menyusuri sepanjang rel kereta api yang sepi. Batu
kerikil di bawahnya menjadi landasan mereka berjalan perlahan. Angin senja
membawa hawa dingin sedingin satin.
Mengibaskan helaian mahkota hitam di masing-masing kepala.
Kaki mungilnya
sesekali tersandung batu kecil di bawahnya. Membuat lelaki di hadapannya
tersentak kaget dan mangkapnya agar tidak jatuh. Senyum kecil mengembang di
garis bibir keduanya. Sekilas. Lalu kembali melangkahkan kaki menuju suatu
tempat.
Mereka
akhirnya sampai di sebuah padang rumput sempit dekat rel kereta api. Tempat
sederhana yang menyuguhkan indahnya langit senja. Bangku taman itu menjadi
tempat mereka memandang indahnya sang senja berdua. Ditemani oleh burung-burung
senja yang sudah mulai beterbangan dibeberapa sisi langit. Semilir dingin angin
membawa nuasa tersendiri bagi rumput-rumput yang menari karenanya.
Sang lelaki
melepaskan genggamannya dengan sang gadis lalu menggunakan kedua tangannya
sebagai penyangga tubuhnya yang sedikit condong ke depan. Kedua iris coklat
gelap dengan pupil hitam itu memandang indahnya sang senja.
Gadis di
sampingnya hanya memandang sendu pemandangan yang dilihat sang lelaki tanpa
banyak pergerakan. Hanya gerakan kecil dari tangan mungilnya yang berusaha
saling menautkan jarinya membentuk genggaman lemah di pangkuannya.
Diliriknya
lelaki yang ada di sampingnya melalui sudut matanya. Sang lelaki masih terlihat
sama, dengan senyum khasnya yang masih terpatri di wajah tampannya. Merasa
bahwa lelaki di sampingnya masih sama, dia menengadahkan kepala memandang
langit dengan semburat jingga yang terlukis indah di beberapa sisi langit
senja.
Dipejamkannya
matanya sekejap, kemudian kembali memandang langit di atas kepalanya dengan
wajah sendu. Hatinya merasa miris merasakan takdir yang terus mengikutinya
sampai di sini. Takdir yang sebentar lagi akan hadir di depan matanya. Merampas
apa yang ingin dijaganya selama dia mampu. Membahagiakannya dengan segala
kesederhanaan kisah yang dijalani.
Namun takdir
tetaplah takdir. Manusia hanya bisa berencana sedangkan Tuhan-lah yang
berkehendak atas semuanya. Takdir ini sudah terlajur digariskan dalam hidupnya.
Dan mengubah masa depannya.
‘Tuhan, aku
tidak tahu apa yang akan kau lakukan kepadanya. Tapi, aku mohon ... jangan
sakiti dia. Janganlah kau memberinya takdir yang buruk.’ Matanya mulai terasa
panas. Pelupuk matanya telah tergenang oleh cairan bening yang tergantung di
sana.
Dia mulai
terisak dalam diam. Dadanya terasa sesak, menyulitkannya untuk bernafas.
Wajahnya pun terasa panas juga. Panas itu membuat cairan bening di pelupuk
matanya seakan hampir jatuh. Kembali dia membatin.
‘Aku tidak
ingin mengakhiri ikatan yang telah terjalin selama ini.’ Pilu ini membuatnya
kembali terisak dalam diam.
Dibukanya
perlahan tirai yang menutup matanya agar tidak membuat air matanya sungguh
terjatuh. Batinnya sudah berulang kali menangis mengingat rasasakit dan pilunya
kehilangan orang yang begitu berarti.
‘Aku memang
tidak tahu bagaimana perasaan yang kumiliki padanya. Tapi aku tidak ingin
kehilangannya Tuhan.’
Dia tidak kuat
lagi menahan semua pilu di hatinya. Tangisnya tumpah tanpa suara, namun mampu
mengundang sang lelaki untuk menatapnya. Lelaki itu menatapnya penuh arti tanpa
banyak melakukan pergerakan yang akan mengundang curiganya. Hanya sekejap lelaki
muda itu menatapnya lalu kembali menatap langit senja.
‘Aku mohon
Tuhan.’ Untuk terakhir kalinya ia membatin dengan menegadah.
Kini dia
menunduk menyembunyikan wajahnya yang sendu. Air matanya pun berjatuhan dengan
bebasnya. Lingkaran-lingkaran transparan itu menghiasi punggung tangannya. Rasa
sakit itu semakin terasa, semakin terasa bahwa takdir itu akan datang.
Gadis itu
semakin mengeratkan genggaman tangannya. Semakin erat dia menggenggam
tangannya, semakin banyak pula air matanya menetes. Tangisnya tidak dapat
dibendungnnya lagi dan semakin keras dia menangis. Isakannya mulai menggema di
telinga lelaki muda itu.
“Aku
senang...” ucap lelaki itu dengan wajah datar. Tidak biasanya ia bersikap
dingin, karena dia adalah tipe orang yang ceria, usil dan murah senyum.
Mendengar
ucapan sang lelaki gadis itu mendongak lalu memandang sang lelaki kaget. Wajah
sendunya memperlihatkan jejak air mata yang baru saja menuruni pipi mulusnya.
Lelaki itu
menoleh kecil ke arah gadis di sampingnya. Dirinya memahami arti tatapan yang
gadis itu berikan. Mengapa dia bisa berfikir seperti itu? Setidaknya seperti
itulah gambaran arti wajah gadis di sampingnya itu.
Ia menarik
sudut bibirnya, mengulas sutas senyum kepada gadis itu. Dia tahu mungkin ini
adalah jawaban yang konyol. Tetapi setidaknya itu lebih baik daripada
membohonginya. Jari tangannya menggapai pipi mulus di hadapannya menghapus
air mata yang masih mengalir tanpa setuju dengan sang pemilik pipi itu.
“ Aku senang
hari ini kau bisa bersamaku.” Lelaki itu kembali tersenyum pada sang gadis.
Sementara yang diberi senyuman hanya terpaku menahan isakan tangis.
“Jika aku
menemanimu hanya untuk mengantarkan kepergianmu. Apa kau akan senang?” Ujar
sang gadis dengan isakan kecilnya. Salah satu sudut matanya kembali meneteskan
air mata meski baru saja dihapus.
Sang lelaki
menggapai tangan sang gadis dan menggenggamnya erat, lalu berkata.
“ Kalau memang
seperti itu akhirnya... aku akan bahagia untukmu.” Ditatapnya mata sang gadis dengan penuh
keyakinan dan ketulusan. Sementara sang gadis hanya mampu membalas tatapan sang
lelaki dengan tatapan sendu.
Lelaki itu
menaarik nafas panjang lalu berkata lagi.
“Setidaknya
kau akan menjadi orang terakhir yang akan aku lihat nantinya.” Lelaki itu
mencoba meyakinkan sang gadis dengan kata-katanya.
“Aku ingin kau
menjadi orang terakhir yang aku lupakan. Dan begitu juga denganmu. Kau akan
menjadi orang terakhir yang akan melupakanku.” Gadis itu mencoba memaknai
kata-kata itu dengan benar. Memahami setiap inti dari kata-kata itu.
DEG
Perkataan
lelaki itu membuatnya tersentak karena kata-kata itu mengenai hatinya. Gadis
cantik itu terpaku di hadapan sang lelaki. Seolah tak percaya apa yang baru
saja dia temukan.
Desir angin
menyapukan dedaunan gugur yang berserakan di tanah berumput itu.
Menerbangkannya ke langit lepas. Rambut sebahu milik gadis itu menari tersentuh
oleh angin.
“Aku tidak
ingin berpisah denganmu.” Ucap gadis itu sendu.
Lelaki itu
tersenyum lagi seperti saat ia menghapus air mata gadis itu. Kedua tangan kekarnya menangkup pipi sang gadis dengan lembut. Jejak air matanya terlihat
begitu nyata menampakkan banyaknya air mata yang baru saja melewati pipi itu.
Matanya menatap dalam mata sang gadis.
“Aku tidak
akan meninggalkanmu.” Ucapnya singkat. Sang gadis tidak percaya dengan ucapan
sang lelaki. Takdir sudah digariskan dalam hidupnya dan dia tidak bisa mengelak
dari semua itu.
“Itu tidak
mungkin. Semua sudah-“. Ucapan sang gadis terpotong karena sang lelaki
menyentuhkan jari telunjuknya di bibir mungilnya. Kepala lelaki itu menggeleng
pelan sebagai pertanda jika dia tidak setuju dengan perkataan sang gadis.
“ Kau bilang
tidak semua mimpimmu itu akan menjadi nyata kan?. Kalau seandanya aku tidak
percaya dengan mimpimu, apakah itu salah?.” Gadis itu hanya menunduk menanggapi
pertanyaan yang diberikan oleh lelaki muda itu. Matanya terasa panas.
Benar apa yang
dikatakan pemuda itu. Tidak seharusnya dia percaya pada mimpinya itu. Karena
tidak semua mimpinya menjadi kenyataan. Walau lebih banyak yang menjadi
kenyataan.
“ Percayalah
padaku!”. Gadis itu mendongak menatap lelaki itu. Kekerasan kepalanya melunak
melihat senyum sang lelaki yang terlihat penuh keyakinan. Gadis itu tersenyum
getir.
“ Ayo kita
pulang!.” Seru sang lelaki. Gadis itu mengangguk mengiyakan seruan sang lelaki.
Mereka
beranjak dari kursi taman itu kemudan berjalan beriringan menyusuri rel kereta
api. Kicau burung senja menjadi hiburan mereka di perjalanan. Tidak percakapan
yang terjadi diantara mereka. Keduanya tenggelam dalam buaian pikiran
masing-masing.
“ Bagaimana
jika kita bertaruh?.” Usulan aneh lelaki itu membuat gadis manis itu
terperangah dan bingung.
“Bertaruh?
Bertaruh apa maksudmu?.” Tanya gadis itu heran. Lelaki muda itu terkekeh kecil.
“Bertaruh
untuk ramalan mimpi anehmu itu.” Ujar sang lelaki itu dengan mudahnya.
Sementara gadis di sampingnya masih belum mengerti sepenuhnya maksud dari
pertaruhan itu.
Pemuda itu
berhenti berjalan di sebuah tempat yang terlihat sedikit lebih tinggi dari
stasiun kereta. Gadis itu juga mengikutinya berhenti satu langkah di depannya.
Cahaya senja menerpa wajah bulat lelaki muda itu. Kilauanya selembut sutra yang
menenangkan mata. Rambut hitamya bergerak seiring terpaan angin. Senyum kecil
menghiasi wajah tampannya.
“Jika mimpimu
itu menjadi kenyataan, maka kau harus mencari orang lain yang bisa
menggatikanku di hidupmu.” Taruhan itu terdengar aneh bagi gadis itu dan
membuatnya terkekeh.
“Taruhan macam
apa itu? Mana mungkin ada orang lain yang bisa menggantikanmu di hidupku.”
Lelaki itu juga ikut terkekeh kemudian tersenyum.
Dia berfikir
bahwa dirinya ternyata dianggap penting dalam hidup gadis itu. Meskipun dirinya
tahu bahwa dia tidak pernah menjalin hubungan kasih dengan gadis manis itu.
Banyak orang yang mengira bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih. Namun
nyatanya bukan seperti itu. Mereka hanyalah sebatas teman dekat. Jangankan
menjadi kekasihnya, menjalin hubungan seperti itu dengan gadis itu saja sudah
membuatnya bahagia.
“Tapi-” Lelaki
itu membalikkan tubuhnya menghadap gadis yang berdiri dibelakangnya. Gadis itu
sedikit kaget dengan gerak tiba-tiba dari sang lelaki.
“Jika mimpimu
itu tidak menjadi kenyataan, kau harus menjadi teman hidupku dan selamanya
bersamaku.” Ucap lelaki itu lantang. Gadis itu terkekeh lagi untuk kesekian
kalinya karena perkataan lelaki itu.
“Itu tidak
seperti taruhan. Tetapi seperti menyatakan cinta dengan cara paksa, kau tahu?”
Candanya dengan lembut. Gadis itu tidak bermaksud menyinggung perasaan lelaki
itu dengan kata-katanya. Memang sudah lama dia tahu bahwa lelaki itu menyukai
dirinya. Namun dia diam saja menanggapinya. Dia akan menunggu sampai lelaki itu
berani menyatakannya sendiri kepadanya. Seperti saat ini.
Lelaki itu
mendekatkan wajahnya pada wajah sang gadis dengan cepat sehingga gadis itu pun
tidak bisa mengelak. Sudut-sudut bibirnya menyinggunggkan seulas senyum manis.
“Jika iya,
memangnya kenapa?.” Pertanyaan yang ambigu. Gadis itu bingung harus menjawab
apa. Karena gugup, pipi putih mulusnya menampakkan semburat merah. Rasanya
panas dan malu. Ia memilih memalingkan wajah menyembunyikan wajahnya yang
merona.
Ia tahu ini
akan terjadi. Namun ia pun tahu bahwa ia tidak akan menjawab pertanyaan itu
dengan mudahnya. Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab secara cepat
olehnya.
Cukup lama
gadis itu terdiam. Sampai akhirnya gadis itu memandang wajah lelaki di
hadapannya dengan perlahan. Wajah lelaki itu begitu menghanyutkannya ke dalam
dunia yang tenang. Permata beningnya menyejukkan hati kecilnya. Ingin rasanya
ia menolak pernyataan itu.
Namun, mata
lelaki itu seakan membius pikirannya dan melunakkan hatinya. Lelaki itu yang
selama ini bersamanya, menemaninya dengan setia. Memberinya kasih sayang nyata
yang terpendam. Lelaki itu juga yang dulu pernah menyelamatkannya. Mengabdikan
hidupnya untuk merawatnya dengan tulus.
Sekarang ia
tahu harus memberi jawaban apa atas pertanyaan lelaki itu. Mungkin ini akan
terasa menyakitkan untuknya. Karena mungkin semua itu hanya akan ada unutk
sementara. Gadis manis itu memilih ’iya’ denga mengangguk kecil sebagai jawaban
pertanyaan itu.
“Jika itu
pilihannya, mungkin aku akn berusaha agar ramalan mimpiku itu tidak akan pernah
terjadi.” Ucapnya setelah ia mengangguk kepada lelaki di hadapannya.
Lelaki itu
menaikkan alisnya, bingung. Apa maksud sebenarnya dari ucapan sang gadis kurang
dimengerti oleh otak dangkalya. Namun dia tahu itu sebuah jawaban yang
diinginkannya dan juga gadis itu. Lelaki itu tersenyum senang.
Dia memegang
kedua pundak gadis mungil dihadapannya. Dia tidak percaya gadis itu akan menjawab
pertanyaan bodohnya.
“Sungguhkah
itu? Aku tidak yakin kau menjawab itu dengan hatimu.” Ucapnya ragu. Gadis itu
memandang dalam matanya. Menyentuhkan kesungguhan dan ketulusan yang
dimilikinya. Senyum gadis itu membuat dirinya yang semula ragu terhadap gadis
itu, kini berbalik percaya seutuhnya kepada gadis yang memang sudah lama dipuja
olehnya. Dia tersenyum kecil.
“Aku harap ini
bukan mimpi.” Ucapnya memastikan.
“Kau tidak
sedang bermimpi.” Ujar gadis itu. Senyumnya kembali mengembang meghiasi wajah tampannya.
Lelaki itu
begitu senang dengan apa yang baru saja didengarnya. Gadis itu menerima
cintanya dengan begitu mudahnya. Walaupun dia sendiri sudah memperjaungkannya
selama beberapa tahun. Kegembiraannya tidak berhenti sesaat, namun dia juga
melompat-lompat senang di antara jajaran sinar senja dan jalur kereta.
Gadis di
hadapannya juga tampak senang dengan kebahagiaan lelaki itu. Bohong jika gadis
itu tidak bisa bahagia dengan lelaki yang selalu menemaninya selama ini.
Senyum tulus itu tersunggingg indah di wajah manisnya.
Terbesit
sebuah perasaan takut ketika melihat lelaki di hadapanya itu terlihat beberapa
kali hampir terjatuh karena menginjak bebatuan di bawah kakinya. Rasa
kekhawatirannya kembali membuatnya tidak tenang, ia takut kejadian itu benar-benar
akan terjadi pada lelaki di hadapannya. Mungkin jika kejadian itu sungguh
terjadi, ia akan mengalami hal yang buruk. Dan ia akan menyesali semua itu.
“Hei, jangan, melompat
seperti itu nanti kau bisa jatuh!.” Peringatnya. Namun lelaki itu sama sekali
tidak menghiraukan peringatannya.
Perasaannya
bertambah takut dan gelisah. Apakah hal itu sungguh akan terjadi padannya?
Mungkin hal itu memang akan terjadi seperti apa yang pernah dilihatnya.
Meskipun ia tahu hal itu akan terjadi, ia tidak tahu kapan hal itu benar-benar
akan menjadi kenyataan.
Lelaki itu
masih setia melompat-lompat senang di depannya. Posisinya kini tidak jauh dari
rel kereta api di samping mereka. Beberapa saat kemudian lelaki itu terlihat
oleng, salah satu kakinya tidak sengaja mnginjak batu yang lebih besar.
Tubuhnya terjatuh kebelakang menuju rel kereta api. Wajahnya tampak kaget
dengan apa yang menimpa dirinya. Mulutnya ternganga. Tangannya terulur ke depan
mencoba meraih gadis yang terbelalak di depannya, namun gravitasi menariknya untuk jatuh sulit
baginya meraih tangan gadis itu.
Gadis itu
kaget, matanya terbelalak melihat kejadian itu. Tangan mungilnya berusaha
meraih tangan lelaki yang berada cukup jauh darinya sebelum tubuh lelaki itu
menghantam kerasnya besi rel kereta
api itu. Gadis itu berlari dengan segenap usaha meraih tangan lelaki itu agar
tidak jatuh ke rel kereta.
Gadis itu
takut, takut ia akan benar-benar kehilangan
lelaki itu untuk selamanya. Jika lelaki itu pergi, ia tidak akan
memiliki siapapun lagi yang berharga dalam hidupnya. Ia akan menyerah untuk
semuanya jika ia kehilangannya. Ia masih terus berharap Tuhan akan
menyelamatkan lelaki kesayangannya.
Namun Tuhan
tidak mengijinkannya bersama dengan lelaki itu lebih lama. Tuhan memilihkan
jalan yang lain untuknya. Memilihkannya jalan yang seharusnya ia lewati
bukannya untuk ditangisi.
Tanpa disadari
kereta datang dengan kecepatan tinggi dari arah belakang lelaki itu. Sorot
lampunya menyilaukan mata yang melihatnya. gadis itu masih berusaha meraih tangan
lelaki itu yang masih terulur memintanya untuk menyelamatkannya. Namun naas,
gravitasi menarik paksa tubuh kekar
lelaki itu ke rel kereta api.
Tubuh lelaki
itu terhantam oleh kereta api yang baru saja lewat dan menghempaskan tubuh itu
jauh dari pandangan sang gadis. Entah kemana tubuh itu dibawa sang kereta yang
melaju itu. Tubuh itu kini sudah tidak berbekas di hadapan gadis manis itu.
Yang tersisa hanyalah bayangan-bayangan dari gerbong kereta api yang melintas
dengan kecepatan tinggi di hadapannya.
Mata gadis itu
semakin terbelalak tidak percaya melihat tubuh yang jatuh sebelum menyentuh
tanah itu sudah terhempaskan oleh kejamnya kereta api. Tubuhnya terasa kaku dan
bergetar. Mulutnya sedikit menganga tidak percaya semua ini sungguh terjadi.
Matanya terasa
panas, air mata pun akhirnya jatuh dari pelupuk matanya. Gadis itu menangis
dalam kesedihan dan ketakutannya. Takdir sungguh kejam. Memisahkan dirinya
dengan seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan besar padanya.
Memisahkannya dengan cara paksa dan memisahkannya untuk selamanya.
Kejamnya
takdir membuat air matanya semakin deras mengalir di pipi mulusnya. Nafasnya
terasa sesak saat ia menyadari bahwa ia sudah kehilangan lelaki kesayangannya.
Batinnya sakit. Sakit sekali.
Kereta yang
melintas telah berlalu, meninggalkan sesosok gadis dengan tangisnya. Deru mesin
kereta sudah terdengar samar, namun perasaan gadis ini masih belum bisa tersamarkan.
Bahkan bisa dibilang perasaannya semakin larut dalam sakitnya
kesedihan. Terlihat dari matanya yang belum berhenti mengeluarkan air mata.
Tubuhnya masih bergetar dengan tangan yang masih terulur ke depan.
Udara mendadak
terasa dingin hingga membuat tulang pun terasa nyilu. Kaki gadis itu semakin
begetar kencang, mengisyaratkan bahwa kakinya tidak mampu lagi menahan
tubuhnya. Dengan satu hembusan angin kaki-kaki jenjangnya menjatuhkan tubuhnya
di depan rel kereta api yang merenggut nyawa orang yang berharga baginya.
Dalam posisi
terduduk gadis itu menunduk menghadap tanah di bawahnya. Air mata yang tadinya
mengalir di pipiny kini beralih jatuh ke atas tanah meninggalkan bekas bundar
karena basah disana. Tetes-tetes air mata masih terus berjatuhan dari kelenjar
air matanya dan semakin banyak menimbulkan bekas di atas tanah. Isak tangisnya
semakin terdengar nyata mengisi hamparan suasana sepi rel kereta.
Langit berubah
suasana menjadi murung berwarna kelabu. Gema suara gemuruh pertanda akan hujan
memenuhi tempat itu. Seakan ikut merasakan kesedihan kisah mereka yang kandas
sekejam ini. Tetesan air hujan mulai turun dari peraduannya. Satu tetes. Dua
tetes. Hingga hujan kini mengguyur
tempat itu dengan lebatnya membasahi seluruh tubuh yang berada di bawahnya.
Air hujan
seakan mengajak gadis itu berlomba untuk
menangis. Bukan hanya gadis itu yang terlihat menangis, langit juga menangis
melihat kisah haru mereka. Aroma hujan semakin lebat membuat gadis itu semakin keras
menangis. Air hujan yang mengalir di pipinya, seolah menyamarkan jejak air mata
yang mengalir di sana.
Tangan
mungilnya mencengkram tanah basah di bawah telapak tangan yang menopang
tubuhnya untuk duduk tegak mengahadapi takdir. Segenggam tanah itu digenggamnya dengan erat
hingga tanah yang tadinya digenggam olehnya kini mulai keluar dari tangan
mungilnya melalui sela-sela jarinya.
Gadis itu
menggit bibir bawahnya menahan rasa sakitnya. Air matanya masih belum berhenti
mengalir. Begitu juga dengan rasa sakit batinnya yang belum juga berakhir.
Setetes air mata mengalir dari salah satu pipinya. Air mata itu berhenti di
dagunya yang sedikit tumpul, seolah menunggu air mata yang lain turun
bersamanya. Namun tidak ada air mata yang turun satelahnya. Air mata itu kini
tidak lagi menunggu air mata yang lain. Ia jatuh sendirian dengan bantuan angin
yang berhembus pelan menerpanya di antara lebatnya hujan.
Wajah sendu
itu terangkat, menengadah ke langit. Menunjukkan air muka kesedihan yang selama
ini disembunyikannya.
“Tidaaaaak!.”
Gadis itu berteriak meluapkan kesedihannya kepada sang langit, hujan, tanah,
rel kereta, dan sang senja. Ia sadar sekarang, bahwa sekarang ia sendiri.
Benar-benar sendirian dengan sang derita.